Menangislah

Aku  jarang mengetahui kasus di mana kalimat “Jangan menangis” bisa benar-benar mencegah seseorang menangis. Di sini aku berbicara tentang mencegah yang bermakna menahan, bukan mencegah yang bermakna melarang. Tentu keduanya berbeda.

Mungkin aku memang lupa, tapi aku belum pernah mendengar kasus bahwa bujukan “Kamu kan laki-laki, masa nangis?” bisa menenangkan perasaan si laki-laki yang air matanya sudah hampir tumpah. Di sini aku merujuk pada bujukan yang berniat tulus dari hati, bukan yang sekadar lulus dari lidah. Lantas mengapa bisa gagal?

Bahkan bahu yang digoyangkan dan punggung yang ditepuk tidak menjamin bahwa rasa sedih, pedih, dan perih yang berbaur tumpang tindih bisa hilang begitu saja. Padahal dua sikap tersebut dimaksudkan untuk menggoyahkan duka dan menepis lara. Tapi pilu dan sendu tidak berasal dari bahu dan punggung.

Lagi pula, apa salahnya menangis? Tangis adalah respons tubuh pada hati yang sedang teriris. Sewaktu SD, guruku pernah berkata begini, “Ketika kaki terluka, mata menangis. Ketika mata menangis, tangan mengusap. Tubuh kita diciptakan untuk berfungsi secara harmonis.” Hanya saja, terkadang tidak hanya kaki, hati pun bisa terluka.

Lantas mengapa kalau seorang laki-laki menangis? Perbedaan gender tidak terletak pada kelenjar air mata. Tidak juga terdapat perbedaan pada sistem emosi di antara keduanya. Ketika rasa sakit yang dirasakan melebihi kapasitas keteguhan seseorang, maka ia akan menangis. Sewaktu kecil, ayahku mengatakan hal ini, “Engga apa-apa, ‘nak. Menangislah. Kamu manusia.” Hanya saja, terkadang orang-orang lupa bahwa seperti itulah kodrat manusia.

Lalu bagaimana dengan sikap tulus dan tutur kata halus yang disampaikan pada mereka yang sedang berlinang air mata? Apakah yang seperti itu tidak diperlukan atau bahkan tidak berguna? Untuk yang ini, menurutku tidak. Mereka yang menangis mendengar halusnya setiap kata yang dituturkan padanya. Mereka juga merasakan setiap ketulusan dalam sikap yang diperuntukkan baginya. Hanya saja, duka dan lara sama halnya seperti suka dan ria. Jangan kau ambil keduanya seketika saat perasaan tersebut baru muncul. Biarkan dulu mereka tinggal sejenak di hati inangnya. Keduanya kadang bisa menjadi guru yang memberikan pelajaran berharga. Suka dan duka adalah kebutuhan manusia.

Jika suatu hari nanti kau rasakan pilu terlampau membiru, lara terlanjur membara, sendu menjelma ngilu, dan duka menjadi luka, tidak peduli kau laki-laki atau perempuan, aku ingin kau mengatakan ini pada dirimu sendiri, “Menangislah.”

#30DWC #30DWCJilid21 #Day7

Comments