Serendipity (Part 1)

Namaku Daniel. Konon katanya, setiap peran utama pada sebuah dongeng atau cerita fantasi pasti akan menemukan sebuah keberuntungan yang tiba-tiba menghampiri seolah hal itu memang takdir. Sesuatu yang bisa dibilang Serendipity. Seperti Aladdin yang menemukan Lampu Ajaib, Arthur yang menemukan pedang Excalibur, atau Ariel yang menemukan cinta dari pangeran idamannya.

Aku tidak yakin bahwa aku adalah peran utama pada suatu dongeng atau cerita fantasi. Tapi yang kutahu, tadi malam aku menemukan keberuntunganku. Aku menemukan Serendipity-ku. Bukan sebuah lampu ajaib, bukan sebuah pedang, dan jelas bukan pangeran. Toh aku lelaki tulen. Ia adalah seorang wanita hamil yang kutemui di stasiun kereta bawah tanah ketika aku hendak pulang dari rumah temanku. Ia memberiku sepucuk surat yang entah bagaimana aku lupa isinya. Namun aku punya firasat yang kuat bahwa surat ini merupakan awal dari sebuah kebaikan.

Aku dan teman-temanku berencana belajar bersama untuk ujian yang akan datang. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, kami langsung menuju mobil Andre. Dialah yang menjadi tuan rumah kali ini. Di rumahnya hanya ada dia sendiri. Kedua orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Karenanya, kami jadi leluasa belajar sambil bercanda sesekali dengan agak berisik.

Sore harinya, setelah selesai belajar, kami berkumpul di halaman belakang untuk bersantai dan minum-minum bir sejenak. Salah satu temanku tiba-tiba mengusulkan ide untuk mengubur potongan kayu untuk tiap orang dan melihatnya lagi di lain waktu barangkali ada yang tumbuh menjadi pohon. Lelucon yang bagus, pikirku.

Setelah kami mengubur potongan-potongan kayu tersebut, Alyana mengajukan diri untuk membacakan sebuah puisi, “Agar lengkap prosesi penguburan sore ini,” katanya.

Astaga, ada-ada saja orang ini. Dinilai dari sifatnya yang romantis, aku menduga puisi yang dia bacakan pastilah syahdu. Alyana melangkah maju ke arah gundukan-gundukan tanah, menarik nafas seraya matanya terpejam, dan kemudian mulai membaca puisinya.

Mawar itu merah, Violet itu biru
Bagaikan bunga yang merekah, alangkah indah wajahmu
Hari-hariku menjadi indah, setiap aku melihatmu

Puisi itu singkat dan sederhana, entah bagaimana dia bisa membuat yang semacam itu dalam waktu singkat. Mungkin perasaannya memang begitu kuat. Alyana kembali ke tempat dia berdiri sebelumnya, di sampingku. Langit sudah gelap sepenuhnya ketika kami memutuskan untuk menyudahi saja pertemuan hari ini. Cuaca akhir-akhir ini sedang dingin sehingga lebih baik jika kami tidak pulang terlalu malam.

Sepertinya memang tidak banyak orang yang bepergian di malam hari selama musim dingin. Aku menunggu seorang diri di stasiun kereta bawah tanah yang sunyi. Hanya ada suara klakson mobil dari atas yang sesekali terdengar. Sampai beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki yang menuruni tangga. Ketika aku menengok, rupanya yang datang adalah seorang wanita hamil. Dia berpakaian warna-warni dengan ekspresi berseri-seri yang membuatnya terlihat seperti baru saja menyaksikan pertunjukkan kembang api tahun baru.

Perlahan ia melangkah, rupanya wanita hamil tersebut mendatangiku dan memberiku sepucuk surat. “Surat ini untukmu. Terimalah,” katanya sambil tersenyum.

Dia tidak menjawab ketika kutanya siapa pengirimnya. Belum habis penasaranku dengan surat itu, ternyata keretaku sudah tiba lebih dulu. Aku bergegas masuk dan melirik sekali ke arah wanita misterius tersebut dari dalam gerbong. Dia tersenyum dan melambai ke arahku. Sesaat kemudian kereta melaju dan wajah wanita tersebut hilang dari pandanganku.

Teringat dengan surat di tanganku, bergegaslah aku membuka dan membacanya. Tak ada nama, kontak, ataupun alamat pengirim. Malah, tidak ada tulisan apa pun di selembar kertas tersebut kecuali tiga kalimat yang tertulis tepat di tengah-tengah.

Kau tidak bisa bersembunyi dari mata takdir.
Karma akan menaklukkan kebohongan seperti hujan memadamkan api.
Kebenaran akan selalu menemukan jalan.

Tidak lama setelah membaca kata terakhir pada surat tersebut, aku merasa ada yang terjadi pada tubuhku. Napasku semakin berat, sepertinya udara di dalam gerbong semakin menipis. Kepalaku pening, bisa jadi karena kekurangan oksigen. Namun, beberapa menit kemudian, penglihatanku mulai pudar. Suara kereta yang melaju di lorong bawah tanah perlahan semakin samar. Ketika semuanya sudah gelap dan sunyi, aku pingsan.


(bersambung...)

#30DWC #30DWCJilid21 #Day5

Comments