Namaku Daniel. Konon katanya, setiap peran
utama pada sebuah dongeng atau cerita fantasi pasti akan menemukan sebuah
keberuntungan yang tiba-tiba menghampiri seolah hal itu memang takdir. Sesuatu
yang bisa dibilang Serendipity.
Seperti Aladdin yang menemukan Lampu Ajaib, Arthur yang menemukan pedang
Excalibur, atau Ariel yang menemukan cinta dari pangeran idamannya.
Aku tidak yakin bahwa aku adalah peran
utama pada suatu dongeng atau cerita fantasi. Tapi yang kutahu, tadi malam aku
menemukan keberuntunganku. Aku menemukan Serendipity-ku.
Bukan sebuah lampu ajaib, bukan sebuah pedang, dan jelas bukan pangeran. Toh
aku lelaki tulen. Ia adalah seorang wanita hamil yang kutemui di stasiun kereta
bawah tanah ketika aku hendak pulang dari rumah temanku. Ia memberiku sepucuk
surat yang entah bagaimana aku lupa isinya. Namun aku punya firasat yang kuat bahwa surat ini merupakan awal dari sebuah kebaikan.
Aku dan teman-temanku berencana belajar
bersama untuk ujian yang akan datang. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, kami
langsung menuju mobil Andre. Dialah yang menjadi tuan rumah kali ini. Di
rumahnya hanya ada dia sendiri. Kedua orang tuanya sedang pergi ke luar kota.
Karenanya, kami jadi leluasa belajar sambil bercanda sesekali dengan agak
berisik.
Sore harinya, setelah selesai belajar, kami
berkumpul di halaman belakang untuk bersantai dan minum-minum bir sejenak.
Salah satu temanku tiba-tiba mengusulkan ide untuk mengubur potongan kayu untuk
tiap orang dan melihatnya lagi di lain waktu barangkali ada yang tumbuh menjadi
pohon. Lelucon yang bagus, pikirku.
Setelah kami mengubur potongan-potongan
kayu tersebut, Alyana mengajukan diri untuk membacakan sebuah puisi, “Agar
lengkap prosesi penguburan sore ini,” katanya.
Astaga, ada-ada saja orang ini. Dinilai
dari sifatnya yang romantis, aku menduga puisi yang dia bacakan pastilah syahdu.
Alyana melangkah maju ke arah gundukan-gundukan tanah, menarik nafas seraya
matanya terpejam, dan kemudian mulai membaca puisinya.
Mawar itu merah, Violet itu
biru
Bagaikan bunga yang merekah,
alangkah indah wajahmu
Hari-hariku menjadi indah,
setiap aku melihatmu
Puisi itu singkat dan sederhana, entah
bagaimana dia bisa membuat yang semacam itu dalam waktu singkat. Mungkin
perasaannya memang begitu kuat. Alyana kembali ke tempat dia berdiri
sebelumnya, di sampingku. Langit sudah gelap sepenuhnya ketika kami memutuskan
untuk menyudahi saja pertemuan hari ini. Cuaca akhir-akhir ini sedang dingin
sehingga lebih baik jika kami tidak pulang terlalu malam.
Sepertinya memang tidak banyak orang yang
bepergian di malam hari selama musim dingin. Aku menunggu seorang diri di
stasiun kereta bawah tanah yang sunyi. Hanya ada suara klakson mobil dari atas
yang sesekali terdengar. Sampai beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki
yang menuruni tangga. Ketika aku menengok, rupanya yang datang adalah seorang wanita
hamil. Dia berpakaian warna-warni dengan ekspresi berseri-seri yang membuatnya
terlihat seperti baru saja menyaksikan pertunjukkan kembang api tahun baru.
Perlahan ia melangkah, rupanya wanita
hamil tersebut mendatangiku dan memberiku sepucuk surat. “Surat ini untukmu.
Terimalah,” katanya sambil tersenyum.
Dia tidak menjawab ketika kutanya siapa
pengirimnya. Belum habis penasaranku dengan surat itu, ternyata keretaku sudah
tiba lebih dulu. Aku bergegas masuk dan melirik sekali ke arah wanita misterius
tersebut dari dalam gerbong. Dia tersenyum dan melambai ke arahku. Sesaat
kemudian kereta melaju dan wajah wanita tersebut hilang dari pandanganku.
Teringat dengan surat di tanganku,
bergegaslah aku membuka dan membacanya. Tak ada nama, kontak, ataupun alamat
pengirim. Malah, tidak ada tulisan apa pun di selembar kertas tersebut kecuali tiga
kalimat yang tertulis tepat di tengah-tengah.
Kau
tidak bisa bersembunyi dari mata takdir.
Karma akan menaklukkan kebohongan seperti
hujan memadamkan api.
Kebenaran akan selalu menemukan jalan.
Tidak lama setelah membaca kata terakhir
pada surat tersebut, aku merasa ada yang terjadi pada tubuhku. Napasku semakin
berat, sepertinya udara di dalam gerbong semakin menipis. Kepalaku pening, bisa
jadi karena kekurangan oksigen. Namun, beberapa menit kemudian, penglihatanku
mulai pudar. Suara kereta yang melaju di lorong bawah tanah perlahan semakin
samar. Ketika semuanya sudah gelap dan sunyi, aku pingsan.
#30DWC #30DWCJilid21 #Day5
(bersambung...)
#30DWC #30DWCJilid21 #Day5
Comments
Post a Comment