Soledad

Kamu pernah merasa sepi? Sepi yang seperti apa yang kamu rasa? Saat malam minggu dan gak ada yang ngajak nongkrong? Atau di pagi harinya yang gak tau mau ngapain dan gak ada teman yang bisa diajak main? Atau mungkin sepi yang dirasa ketika anggota rumah lagi pada pergi dan kamu sendirian? 

HAHAHA CUPU! 

Segitu sih bukan sepi. 

Apanya yang sepi? Kamu cuma sekadar merasakan ice bucket challenge dibanding kami yang dikurung di bawah laut antartika. Sepi-mu lucu. Haha.

Ya. Selucu itu mungkin aku bisa gambarkan sepimu. Tapi mungkin kamu gak tertawa. Pasti karena kamu gak punya selera humor yang asik. Atau memang kamu baperan setelah diomongin gitu doang. Hah? Kenapa? Aku gak tau rasanya jadi kamu? Aku gak tau apa aja yang kamu alamin dan gak tau gimana hidup di posisi kamu?

...

Benar.

Aku gak tau. Aku gak tau gimana rasanya jadi kamu. Aku bisa bayangkan dan bisa menghubungkan semua deskripsimu dengan segudang pengalamanku. Tapi aku gak akan pernah bisa mengerti kamu seutuhnya. Dan, kawan. Hal itu berlaku bagi semua orang. Yang kukatakan ke kamu itu salah. Mengomentari, membandingkan, dan menyepelekan sepi-mu itu bukan hal yang lucu. Bukan soal humor. Bukan soal baper. Aku minta maaf.


Dan, kawan. Aku harap hal itu disadari semua orang.

Kesepian itu tidak selucu yang orang pikirkan. Kalimat seperti "Cie kesepian" atau "Uuuh kasian banget kesepian" mungkin pernah kalian dengar sebelumnya. Memang hal itu terdengar lucu pada awalnya. Tapi untuk mereka yang merasakannya, jelas terasa berbeda. 

Kesepian itu seperti bilah pisau tajam yang moncongnya selalu menempel di dada. Yang akan bergeser setiap kali malam datang dan tubuh menolak untuk beristirahat. Pisau yang perlahan membelah lapisan kulit setiap kali pikiran mengaduh di tengah malam. Yang perlahan tapi pasti akan sampai juga ke jantung. Seperti menjatuhkan hukuman mati pada diri sendiri. 


Tapi sialnya, pisau itu tersembunyi dari mata orang-orang. Pisau itu tidak ada dan tidak ada pula bekas luka yang ditimbulkannya. Pisau tersebut adalah rasa sakit yang keberadaannya tidak bisa diakui orang lain. 

Atau mungkin bisa juga digambarkan seperti terjebak di bawah lapisan es antartika. Penjara alami yang tak seorangpun ingin berada di dalamnya. Termasuk aku.

Aku sejujurnya hanya ingin segera bersandar di bawah pohon di mana Newton menemukan apelnya. Agar aku bisa belajar dari terjatuh. Bahwa setiap detiknya kita memang ditarik kebawah sehingga jatuh adalah hal yang lumrah. Dan manusia bisa bangkit bahkan ketika tulang-belulangnya patah. Aku ingin kembali terbang hingga sayap-sayapku patah. Bukan terus menangis hingga sekujur tubuhku basah.

Tapi sialnya, aku terjebak di bawah lapisan es antartika. Terjebak untuk terus berenang mencari celah barangkali ada seseorang yang membuat lubang untuk memancing. Barangkali ada yang mengira bahwa suhu panas tubuhku di balik kabut salju itu adalah penguin yang jatuh ke air. 

Kadang terpikir "Biar mati sajalah aku!'. Tapi kakiku juga entah kenapa selalu bergerak mencegahku tenggelam. Barangkali jiwaku sudah terbelah menjadi dua. Yang ingin hidup dan yang ingin mati. Yang memegang asa dan yang melepasnya. Yang saling berlawanan namun sayup-sayup membisikkan satu kalimat yang sama.

"Bebaskan aku dari sini."



Comments