Hujan, Belaian, dan Jarum




          Mendung bagimu adalah sonata pembuka orkestra langit. Seperti pembukaan konser musik klasik yang kau tonton tiap beberapa bulan bersama ayahmu. Langit yang semakin gelap bagimu adalah lampu teater yang meredup pertanda penampilan sang maestro akan segera dimulai. Angin yang semakin mengembus bagimu adalah kibasan layar merah panggung seni. Kau selalu menikmati setiap detik saat dunia terlihat semakin hitam. Kau bilang, “Berkah langit akan segera turun, Noran! Tersenyumlah sedikit.
          Mendung bagiku adalah suara misterius di tengah malam. Seperti langkah kaki seorang pembunuh yang datang entah dari mana untuk mengambil nyawaku. Langit yang semakin gelap bagiku adalah cahaya yang meredup di gang sempit yang sepi. Angin yang semakin mengembus bagiku adalah bisikan naluri yang mengatakan bahwa bahaya sedang mendekat seiring waktu. Aku selalu ketakutan pada setiap detik saat dunia terasa semakin kelam. Tapi aku hanya bilang, “Oh, ayolah, tuan putri. Kau selalu tersenyum pada apa pun yang ada di langit.”
          Hujan bagimu serupa uluran tangan langit yang tak henti-hentinya membelai rambutmu. Suara riuhnya kau anggap seperti kantata paduan suara yang disenandungkan dengan harmonis. Ditambah lagi bunyi-bunyian katak yang seolah bermain vokal dengan merdunya. Petir yang sesekali muncul malah kau sama kan dengan letupan konfeti yang turut memeriahkan suasana. Kau mungkin adalah manusia paling positif yang pernah kutemui.
          Hujan bagiku serupa berbatang-batang jarum yang bertubi-tubi menusuk tubuhku. Suara riuhnya kuanggap seperti desis ular raksasa yang mengandung kebencian. Ditambah lagi suara bising katak sialan yang seolah mengolok-olok dengan puasnya. Petir yang sesekali muncul malah terdengar seperti benda-benda yang dibanting untuk mengekspresikan amarah. Aku mungkin adalah manusia paling negatif yang pernah kau temui.
          Lilias, oh, Lilias. Andai kau tahu apa yang membuatku begitu membenci hujan dan segala teman-temannya. Andai kau mengerti kepedihan yang aku alami dan dunia kelam yang aku tinggali. Mungkin kau akan berpikir berkali-kali untuk sekadar tersenyum. Apalagi menikmati hujan.
          “Kemarilah, Noran. Aku tidak mau menikmati semua ini sendirian. Aku akan mengajarimu cara menghargai langit.” katamu sambil menarik tanganku. 
          Wajahmu terlihat basah walau seharusnya terlindung tudung dari jas hujan yang kau kenakan. Tapi tentu saja kau membuka tudungmu untuk menikmati cuaca buruk ini. Berbanding terbalik dengan aku yang bersembunyi di balik tudung dari jas hujan milikku. Tudung inilah satu-satunya perlindungan yang kumiliki karena kau bahkan tak membiarkanku meneduh di bawah pohon. 
          Dengan enggan, aku pun melangkah maju mengikuti ke mana kau membawaku.
          “Kau tahu aku bukan pencinta hujan, Lilias.”
          “Oh, Noran kecil tidak suka air rupanya?” ujarmu dengan niat menggoda. “Ayolah, Noran, buka tudungmu itu. Kau sudah terlanjur terjebak di sini bersamaku. Setidaknya kau harus menerima kenyataan itu dengan sepenuhnya.” kau mengatakan itu sebari memaksa membuka tudungku.
          Aku gemetar ketika air hujan mulai mengenai rambutku yang seharusnya tetap kering. Wajahku pasti terlihat pucat ketika kau berkata, “Hey, tidak apa-apa Noran. Hujan ini hanya air dan aku ada di sini untuk menemanimu kalau-kalau kau takut pada petir.”
          Ekspresimu terlihat begitu berani dan suaramu entah bagaimana bisa menenangkanku. Tatapanmu seolah memberiku keyakinan untuk setidaknya mencoba berdiri melawan rasa takutku. Entah bagaimana, Aku merasa hujan kali ini tak akan seburuk yang biasanya. Entah karena memang seharusnya seperti itu, atau karena kau. Saat aku memikirkan hal tersebut, Aku sadar bahwa kau lebih dari sekedar tuan putri pencinta langit. Kau seperti matahari yang selalu menenangkanku setelah hujan reda.
          Lilias, oh, Lilias. Andai aku tahu apa yang membuatmu begitu mencintai hujan dan segala teman-temannya. Andai aku mengerti rasa syukur yang kau miliki dan dunia indah yang kau tinggali. Mungkin aku akan berpikir berkali-kali untuk sekadar bersedih. Apalagi membenci hujan.

Comments

  1. "Andai aku tahu apa yang membuatmu begitu mencintai hujan dan segala teman-temannya. Andai aku mengerti rasa syukur yang kau miliki dan dunia indah yang kau tinggali. Mungkin aku akan berpikir berkali-kali untuk sekadar bersedih. Apalagi membenci hujan."

    ReplyDelete

Post a Comment