Kebencian, Bulu-bulu, Kue stroberi



Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Awan-awan berbentuk kelinci dan kupu-kupu di atas sana seolah turut menghiasi keceriaan musim semi. Suasana kota hari ini juga begitu ramai oleh orang-orang yang beraktivitas di akhir pekan. Sesekali aku berhenti dan menonton pertunjukkan jalanan dan melihat gaun-gaun lucu yang dipajang di beberapa toko. Namun bukan itu alasanku ke kota hari ini. Melainkan untuk membeli barang-barang titipan papa dan beberapa potong kue stroberi kesukaanku. Entah sejak kapan aku menjadikan kue bercita rasa asam dan manis tersebut sebagai makanan favoritku. Membayangkan rasanya saja sudah membuat mulutku berair. Aku tidak sabar untuk segera sampai ke desa dan membagikan potongan kebahagiaan ini pada papa dan Noran. Memang akan memuaskan perutku jika kusantap semuanya sendirian. Tetapi akan lebih menyenangkan hatiku jika aku bisa berbagi dengan mereka.

Aku baru saja selesai memberikan barang-barang titipan papa dan kue stroberi untuknya ketika aku mendatangi Noran di tebing tempat kami selalu menghabiskan akhir pekan. Kami melakukan banyak hal di tebing ini. Aku sering berlatih menyanyi dan bermain gitar, sedangkan Noran lebih suka ragam aktivitas yang senyap seperti membaca buku atau menulis puisi. Namun hari ini Noran tidak terlihat sedang melakukan dua hal kesukaannya. Dia hanya duduk bersandar pada satu-satunya pohon di sana. Padahal buku puisi yang selalu dia bawa tergeletak tidak jauh dari tempat duduknya.

Aku mendatanginya dan menyapa, “Selamat siang, Tuan Katak.” Semenjak aku menceritakan tentang awan katak berkepala Noran, aku sering mengejeknya dengan panggilan itu.

Noran melirik sekilas lalu menjawab, “Kau sudah kembali rupanya.”

Dia tidak marah sedikit pun meski dahinya mengerut dan nada bicaranya ketus. Ada yang berbeda, pikirku. “Kau pasti sedang memikirkan hal yang aneh-aneh lagi, kan?” tanyaku sebari mencari posisi duduk yang nyaman.

“Tebakan macam apa itu?” timpalnya.

Aku bersedekap dan mengangkat dagu lalu berkata, “Kau mungkin tidak tahu, Noran. Tapi aku ahli dalam membaca suasana hati orang lain. Terutama kau.”

“Kurasa memang begitu, ya.” Noran menghela napas sebari memasang ekspresi menyerah yang dilanjut dengan tatapan kosong ke laut di bawah sana. Bersiap-siap untuk menyuarakan pidato pikirannya.

Aku sontak merespon reaksi tersebut, “Mari dengarkan isi kepalamu.”

“Aku benci, Lilias. Aku benci pada dunia. Benci melihat ketidakadilan yang seolah menertawakan kaum yang berkelit dengan kesengsaraan. Benci melihat jutaan mimpi yang berkelap-kelip indah di langit malam, yang juga menjelma bulu-bulu yang rontok dari sayap-sayap yang putus asa. Tetapi, Lilias. Pun, aku sadar bahwa duniaku adalah diriku sendiri. Ketidakadilan yang kubenci adalah ketidakadilanku pada diriku sendiri, yang mendatangkan kesengsaraan hingga terasa amat pahit. Mimpi-mimpi yang kubenci adalah mimpi-mimpi yang kutinggalkan dalam ruang sempit dan berdebu di bawah kasurku, yang menyimpan sayap yang padahal tak henti-hentinya menumbuhkan bulu baru. Aku benci pada diriku sendiri yang hanya membenci dan membenci. Aku membenci diriku yang menyadari semua ini dan hanya mampu membenci. Aku benci diriku yang tidak berjuang demi keadilan dan mimpi. Keadilan dan mimpi ku.” Noran terdiam cukup lama setelah mengatakan semua itu.

Aku pun butuh beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Kalau kau memang sudah mengerti, tinggal melangkah bukan?”

“Tidak semudah itu, Lilias.”

“Kenapa tidak? Kita semua memiliki mimpi yang kita kejar.”

“Aku takut. Aku takut gagal,  ditertawakan, direndahkan, dan pada akhirnya hanya buang-buang waktu. Aku tidak seperti orang lain yang dilatih sejak kecil untuk mengejar mimpinya atau seperti orang-orang pemberani yang bersikukuh pada jalannya. Aku ragu.”

Aku memang terbiasa mendengar Noran mengoceh tentang pikiran-pikirannya yang entah sepanjang apa. Tapi kali ini, aku bahkan bisa benar-benar merasakan keraguannya.

“Aku sama sepertimu, Noran. Di hari ketika aku mendeklarasikan bahwa aku ingin menjadi musisi di kota di depan papaku, Aku tidak bisa tidur semalaman karena terpikir bahwa mungkin saja mimpi itu konyol. Lagi pula, aku hanya anak seorang petani sayur di desa kecil. Tapi entahlah, Noran. Lambat laun aku merasa damai dengan pilihanku. Perlahan-lahan keberanianku mulai tumbuh dan aku semakin percaya diri. Kini aku merasa setuju dengan opinimu tentang kalimat klise, Noran. Dan mungkin justru kau yang sedang terjebak karenanya. Orang-orang akan berkata ‘Beranikanlah diri untuk mengejar mimpimu’. Tapi kurasa, tidak ada salahnya jika kau takut. Yang terpenting bukanlah keberanian, melainkan langkah. Kalau kau takut, melangkahlah dengan takut. Kalau kau ragu, melangkahlah dengan ragu. Urus saja perihal keberanianmu setelah melangkah. Jika suatu saat kau jatuh, setidaknya kau akan bangun lagi di tengah perjalananmu alih-alih di atas kasur tempat mimpimu hanya menjadi buaian belaka.”

Noran hanya menatapku tanpa mengatakan apa pun. Barulah aku tersadar dengan apa yang kukatakan dan bersorak riang, “Astaga! Pandai sekali aku berbicara. Rupanya aku mulai tertular olehmu, Noran.”

“Kalau begitu aku sangat berterima kasih pada diriku.” Noran tersenyum puas.

“Noran yang menyebalkan sudah kembali rupanya.” Sesaat setelah mengatakan hal itu, aku teringat dengan apa yang kubawa hari ini dan langsung mengambil serta menyerahkannya pada Noran. “Ambil ini, Tuan Katak. Aku membawanya jauh-jauh dari kota. Kalau tidak kau makan aku akan mengutukmu menjadi katak seutuhnya!”

“Kenapa kue stroberi?” Dia mengacuhkan ancaman kutukanku.

“Kue stroberi terasa asam di awal. Rasa yang tidak terlalu diharapkan orang dari jenis makanan seperti kue. Tapi lambat laun kau akan menemukan rasa manis dan kelembutan dari kue tersebut.”

“Hm, penjelasan yang cocok untukmu.” Komentarnya dengan mulut yang sibuk mengunyah.

“Tidak. Justru aku suka kue stroberi karena ia sepertimu,” gumamku.

“Hah? Apa kau mengatakan sesuatu? Aku tidak mendengarnya tadi.”

Aku tersenyum dan semata-mata menjawab, “Tidak, kok. Mungkin telingamu mulai aneh seperti isi kepalamu.”

“Isi kepalaku normal,” tukasnya. Kali ini baru dia terlihat tersinggung. Ekspresinya terlihat lucu.

Hari itu kami lanjutkan seperti biasa. Aku berlatih bernyanyi dan Noran menulis puisi. Sepertinya dia mendapatkan inspirasi yang bagus dari perkataanku. Senang rasanya melihat dia tersenyum kembali. Serasi dengan bunga-bunga yang mulai bermekaran di bawah langit indah musim semi. 

Comments