Pelangi, Babi, dan Pipis


Wajahmu lagi-lagi berseri ketika kau memandangi lekukan pelangi di langit hari ini. Hujan memang sering turun akhir-akhir ini. Dan kau tak pernah urung mengajakku ke Tebing Hitam tempat kita selalu bermain sedari kecil. Memang tak dapat dipungkiri bahwa pemandangan di sini adalah salah satu yang terbaik yang pernah ku tahu.
                “Sejak kecil aku selalu suka pelangi,” kau bilang. “Keberadaannya membuktikan bahwa yang indah-indah akan datang setelah badai sekalipun.”
                “Klise.” Balasku.
                 Aku memang tidak begitu suka kalimat atau perumpamaan yang terlalu sering diucapkan di sana-sini. Terkesan seolah orang-orang tidak bisa menemukan sudut pandang baru.
                “Kau ini selalu saja kurang menghargai hal-hal yang sederhana. Pikirmu sesuatu yang bagus itu harus selalu rumit?”
                “Sedangkan kau bahkan akan tertawa hanya dengan melihat awan yang berbentuk kepala babi.” Kataku sekilas.
Jika diingat-ingat, Lilias memang sedari dulu mudah sekali tertarik dengan sesuatu. Pernah sekali waktu kami masih kecil dan bermain di sekitaran tebing, Dia tiba-tiba tertawa lepas. Aku kebingungan sembari mencari sesuatu yang ia tunjuk dengan telunjuknya yang mungil. Setelah melihat ke atas, barulah Aku sadar bahwa yang membuatnya begitu girang adalah sebuah awan yang bebentuk kepala babi.
                “Babi yang mengenakan topi! Itu babi yang lucu! Lagipula kalau kau cukup memperhatikan, awan memang seringkali berbentuk sesuatu yang menggemaskan dan bahkan menggelikan. Minggu lalu aku melihat awan yang berbentuk seperti wajahmu namun dengan badan seekor katak. Aku tertawa terbahak-bahak ketika melihatnya!”
                Terkadang aku iri melihat Lilias yang selalu tampak bahagia seolah seluruh hidupnya merupakan cerita dongeng putri raja. Dongeng yang diawali dengan terbangun di pagi hari oleh siulan merdu burung-burung beraneka warna, sarapan pagi maupun makan siang dengan segala macam buah dan daging yang bisa ditemukan di penjuru kerajaan, bermain dengan rusa ajaib di tengah hutan, dan terlelap di ranjang empuk yang mungkin bisa ditiduri oleh 6 orang. Hari-harinya selalu penuh tawa dan kesenangan seolah ia tidak mengenal kata sedih dan sinonim-sinonimnya.
                “Kau terlalu mengagung-agungkan segala hal. Padahal kalau kau peduli kenyataannya, semua hal yang kau sebutkan itu hanyalah fenomena alam yang biasa saja.”
                “Lihat, kan? Lagi-lagi kau tidak menghargai hal-hal yang sederhana. Lagipula apa pentingnya mengetahui proses terbentuknya pelangi? Kita hanya perlu memandangnya dan tersenyum, loh! Sesederhana itu.” Katanya sambil ngomel-ngomel. Wajahnya terlihat bodoh dengan pipi menggembung dan mata menyipit. Bodoh dan lucu.
                “Oh, begitu ya? Sekarang kau yang tidak menghargai proses fenomena alam. Akan kujelaskan kepadamu agar aku bisa melihat eskpresimu yang selain senyum dan marah.” Padahal aku suka keduanya. “Pelangi yang selalu membuatmu tersenyum sampai ototmu keram itu bisa muncul karena ada tetes hujan. Hujan yang bagi sebagian orang adalah berkah, dan bagi sisanya adalah musibah berasal dari awan. Bisa jadi salah satunya berbentuk babi dengan topi lucu ataupun berbadan katak. Kau tahu dari mana asalnya awan-awan konyol itu? Mereka berasal dari laut. Uap air lebih tepatnya. Tapi, toh laut juga air. Dan terakhir, kau tau apa saja yang berada di dalam air laut tersebut? Barangkali pipis bocah di pinggir pantai atau muntahan seseorang yang tidak tahan dengan goyangan kapal feri di tengah laut. Belum lagi kotoran dan keringat ikan. Jadi pikir kembali kalau kau merasa tau darimana kebahagiaan itu berasal.”
                “Ew! Dasar jorok! Kan tidak perlu menjelaskan sejauh itu, Noran bodoh!” Bentaknya sebari pergi dengan wajah muram.
                Nah, ekspresi yang satu itu Aku tidak terlalu suka. Barangkali tidak ada salahnya Aku sesekali belajar untuk menahan isi kepalaku lain kali.

Comments