“Noran, aku tidak menyukai awan yang berbentuk
kucing.”
Aku sedang bersandar di pohon sembari membaca buku
ketika tiba-tiba terdengar suara Lilias yang berkata demikian. Kukira hari ini
seharusnya cukup cerah untuk bisa membuatnya tersenyum ceria. Dia mendekat
perlahan dengan langkah yang berat dan kepala yang tertunduk. Ia bahkan
tidak memandangi langit? Aku bertanya-tanya dalam pikiran.
“Bagaimana bisa kau terlihat sendu di hari Minggu
yang dibalut langit biru dan suara ombak yang saling beradu? Bicaralah,
Lilias.” Kalau asumsiku benar, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sedih.
“Pagi ini, aku terbangun dengan air mata di pipiku.
Aku bermimpi tentang Lyon kecil yang malang, Noran.” Lilias mengambil posisi
untuk duduk di sampingku. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah cakrawala.
“Ah, begitu, ya...” Aku teringat akan cerita pilu
yang Lilias sampaikan padaku pada hari Rabu lalu.
***
Hujan turun tak henti-hentinya sejak dini hari,
merebut keceriaan dan semangat yang seharusnya datang bersama mentari pagi.
Lyon menghembuskan napas terakhirnya hari itu. Lilias baru saja bangun tidur
dan hendak mengambil minum ke dapur ketika dia melihat tubuh mungil yang
terbaring di lantai. Lilias mengira dia hanya sedang tidur. Ia lalu memainkan
tangan dan cakar mungil Lyon seperti yang sering dilakukannya. Hanya saja, kali
ini ada yang aneh. Lyon terlalu pendiam. Ia tidak terbangun dan menggigiti jari
Lilias seperti biasanya. Dalam balutan bulu-bulunya yang berwarna oranye, Lyon
justru terlihat kesulitan bernapas. Terkejut akan hal tersebut, Lilias
berteriak memanggil ayahnya.
Tuan Henry baru selesai menggunakan toilet ketika
Lilias menyebut-nyebut namanya. Dengan mata yang masih sayup-sayup ia
memperhatikan kondisi Lyon. Dilihatnya bocah kecil yang selama ini selalu
membawa keceriaan di rumah sederhana itu. Mulutnya sedikit terbuka dan
megap-megap. Mungkin untuk membantu bernapas. Matanya terlihat amat sayu ketika
tangan kanan tuan Henry mengusap dahinya. Dari ujung kepala sampai ujung
ekornya tak terlihat tanda pergerakan lain yang berarti selain paru-parunya
yang kembang kempis.
“Papa, ada apa dengan Lyon? Kenapa dia seperti
ini?” Kekhawatiran mulai memuncak di benak Lilias. Ia tak kuasa membayangkan
apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Entahlah, Lilias. Aku hanya seorang petani sayur.
Aku tidak pernah mengemban pendidikan kedokteran hewan. Untuk sekarang, cobalah
tuangkan susu ke tempat minumnya,” ujar tuan Henry sebari mencoba untuk
menebak-nebak apa yang terjadi.
Tanpa menjawab, Lilias langsung sigap melaksanakan
perintah ayahnya. Bersamaan dengan aliran susu yang tertuang ke wadah tempat
minum Lyon, mengalir pula harapan dan doa-doa Lilias agar si kecil kembali
membaik.
“Lyon, minumlah. Aku tidak pernah memberimu susu
sepagi ini, kan? Kali ini akan kuberi sebanyak apa pun yang kau mau. Jadi
kumohon minumlah dan bermain lagi bersamaku. Kumohon, Lyon...”
Lilias tak kuasa menahan tangis ketika kucing
kesayangannya hanya minum sedikit dan kembali terkulai lemah. Lilias tidak siap
untuk ini. Begitu pula tuan Henry yang kehabisan akal dan hanya mematung di
sana. Perlahan ia dekap putri tercintanya. Diangkatnya Lyon ke pelukan mereka.
Setelah itu, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Hingga akhirnya
Lyon mengeong untuk yang terakhir kalinya. Seolah mengatakan, “Terima kasih
banyak telah merawatku.” Pagi itu, pukul 6.22, Lyon telah meninggal dan
tak seorang pun tahu penyebabnya.
Mereka tidak siap untuk kehilangan. Tidak lagi.
Tidak setelah mereka kehilangan sang ratu di rumah tersebut, nyonya Rosaline
Henry. Tapi aku tidak ingin mengingatkan Lilias pada hal itu untuk saat ini.
Aku justru harus menghiburnya. Hm, mengganti topik tidak akan berguna,
pikirku. Lilias harus bisa menghadapi rasa sakitnya kali ini. Sudah terlalu
sering dia berlari. Kini saatnya berhenti.
***
“Lilias.” Aku mencoba untuk membuka keheningan yang
sedari tadi hadir bersama kami selagi aku mengingat tentang Lyon.
Tanpa jawaban, ia hanya menoleh ke arahku. Dengan
satu lirikan, kutatap kedua matanya. Astaga, walau hanya sekilas, aku seolah
bisa merasakan kepedihan dari tatapannya yang hampa. Tapi aku tahu bahwa ia
sedang menunggu dan sudah mempersiapkan diri untuk mendengarkan apa yang akan
kukatakan.
“Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?” tanyaku.
Ia kembali menundukkan kepala dan terdiam sejenak
sebelum kemudian menjawab, “’Kenapa?’ Hanya pertanyaan itu yang sedari tadi
berlarian di kepalaku. Kenapa dia pergi begitu cepat? Kenapa dia tidak diberi
kesempatan untuk tumbuh dewasa? Kenapa dia tidak diberi kesempatan untuk
beranak pinak? Aku memungutnya dari kota dalam kondisi yang sangat buruk. Aku
merawatnya sedari jalannya masih sempoyongan sampai dia bisa berlarian di
tengah malam mengganggu tidurku dan papa. Tapi itu bukanlah masalah karena aku
menyayanginya seolah dia adalah keluargaku. Tapi kenapa di saat Lyon
mendapatkan semua itu, justru dia harus pergi? Kenapa? Ia bahkan belum genap 2
tahun, Noran.”
Sepertinya Lilias sudah kehabisan kata-kata. Tidak
butuh orang yang sensitif untuk bisa merasakan bahwa luka di hatinya lebih
dalam dari semua kata yang bisa diucapkan mulutnya.
Ayolah, Noran. Jangan buat keberadaanmu sia-sia
baginya. Bergunalah! Sejenak aku
diam untuk merapikan kalimat-kalimat yang akan kusampaikan. “Karena dia
bahagia, Lilias. Dia sangat bahagia.” Aku diam sejenak untuk melihat bagaimana
reaksinya.
Lilias hanya menggelengkan kepalanya sedikit.
“Sulit untuk mengerti jalan pikiranmu, Noran. Jelaskanlah dengan lebih rinci.”
Baiklah, dia sudah siap. Aku meyakinkan diriku untuk melanjutkan penjelasan. Aku
berdiri dan menerawang ke arah laut di bawah sana. Tak kuasa melihat Lilias
yang terlihat begitu memilukan.
“Kau tahu aku bukan orang yang perasa. Jujur saja
aku memang tidak bisa memastikan semua yang akan aku katakan. Tapi, kau bisa
memilih untuk percaya pada apa yang akan aku sampaikan. Yang bisa kusampaikan
hanya buah pikirku, seperti biasa. Dan kupikir, Lyon adalah salah satu makhluk
yang paling beruntung yang kukenal. Sebagai kucing domestik biasa, dia
dilahirkan di kota. Kemudian ditinggalkan induknya yang pergi tak tahu ke mana.
Induk yang entah masih hidup atau malah sudah menjadi bangkai di suatu tempat
di sudut kota tanpa sepengetahuannya. Lalu kau hadir dalam hidupnya. Lyon kecil
tumbuh di pangkuanmu, pangkuan hangat yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya.
Ia belajar berjalan dan berlari di bawah atap rumah yang melindunginya dari
hujan, panas, dan polusi jalanan. Ia juga tidak pernah berurusan dengan kucing
liar lain yang hanya mementingkan isi perut mereka masing-masing. Di antara
saudara-saudara kandungnya, Lyon memiliki hidup yang jauh lebih indah.
Berdasarkan fakta-fakta itu, aku dapat berasumsi bahwa Lyon menghabiskan sisa
hidupnya dengan perasaan bahagia yang tidak satu pun dari kita tahu. Lilias,
jika kau bertanya ‘kenapa?’ untuk dirimu sendiri, maka aku tidak punya jawaban
apa pun yang bisa menjadi alasan yang kau cari. Tapi, jika aku bertanya
‘kenapa?’ mewakili Lyon, maka kau, pertemuan kalian, semua yang kalian lalui,
detik pertama kau menatap matanya di kota sana hingga ia menghembuskan napas
terakhir di pelukanmu, maka jawabannya sederhana. Kau adalah anugerah baginya,
Lilias. Tuhan memberinya hidup yang bahagia dan mengakhirinya di sana. Akhir
kisah hidupnya adalah akhir yang indah. Entah apa makna pertemuan kalian
untukmu, tapi kurasa, begitulah makna pertemuan kalian bagi Lyon. Dan jangan
membenci akhir, Lilias. Karena yang membuat suatu perjalanan, hubungan, atau
cerita menjadi bermakna adalah akhir. Kita tahu bahwa tidak ada yang abadi,
sehingga kita berusaha untuk membuat setiap detik menjadi berharga. Bukankah
begitu?”
Isak tangis yang perlahan semakin jelas terdengar
ke telingaku. Astaga, Noran! Apakah kau yakin telah mengatakan hal yang
benar? Lantas kenapa Lilias menangis? Aku tidak bisa menjawab pertanyaan
tersebut. Untuk sejenak, aku panik. Aku juga belum berani untuk membalikkan
diri dan melihat keadaan Lilias. Tapi kupikir, aku memang harus bertanggung
jawab atas semua yang sudah kukatakan. Setelah meyakinkan diri, aku pun
akhirnya memberanikan diri untuk menghadap Lilias.
Belum sempat aku memperhatikan Lilias, ia tiba-tiba
lari ke arahku dan memelukku sambil merengek. Dengan dagunya yang disandarkan
di bahuku, dia akhirnya mengeluarkan segala isi hatinya. Menghadapi kesedihan
yang menimpanya.
“Lyon! Maafkan aku jika aku tidak pernah
mengizinkanmu untuk minum susu sebelum jam 7 pagi. Aku hanya tidak ingin kau
kehilangan selera makanmu karena aku tahu kau membutuhkan gizi yang ada di
makananmu. Lyon! Maafkan aku jika aku mendekapmu terlalu erat saat kau
membangunkanku di tengah malam. Aku hanya ingin mencegahmu untuk berlarian ke
kamar papa agar kau tidak diomeli lagi olehnya. Lyon! Terima kasih karena
mengizinkanku untuk merawatmu menggantikan ibumu. Lyon... Terima kasih atas
hari-hariku bersamamu. Aku bahagia sebagaimana kau yang juga bahagia
berdasarkan penjelasan Noran. Aku percaya itu. Aku percaya, Noran.”
Lilias memaksakan diri untuk tersenyum setelah
semua yang dikatakannya. Tatapan matanya kembali hidup. Sangat berair, namun
terasa hangat. Tetes air mata yang mengalir di pipinya telah berubah dari air
mata kesedihan menjadi air mata kebahagiaan.
Aku merasa lega menyadari bahwa yang aku katakan
padanya tidak memperburuk keadaan dan justru bisa membantunya untuk kembali
tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu, aku pinjam sapu tanganmu,
Lilias,” ucapku sebari mengulurkan tangan.
“Untuk apa? Yang menangis kan aku dan bukan kau,”
jawabnya polos.
“Ya, tapi kurasa aku lebih membutuhkannya untuk
membersihkan bahuku dari ingusmu. Lagi pula, kau kan sudah berhenti menangis.
Usap saja sisa air matamu dengan tangan.”
Wajah Lilias memerah ketika melihat bahuku dan
menyadari apa yang sudah dia lakukan. “Baiklah! Baiklah! Diam kau! Ini sapu
tanganku, bersihkan saja sendiri sana! Kau sudah mengacaukan momenku, bodoh!”
Ia menyerahkan sapu tangan dengan terburu-buru dan memalingkan wajah seketika.
Nah, aku lebih suka melihat Lilias yang seperti
ini. Kerja bagus, Noran!
Comments
Post a Comment