Cakar mungil, 6.22, dan Sapu tangan



“Noran, aku tidak menyukai awan yang berbentuk kucing.”

Aku sedang bersandar di pohon sembari membaca buku ketika tiba-tiba terdengar suara Lilias yang berkata demikian. Kukira hari ini seharusnya cukup cerah untuk bisa membuatnya tersenyum ceria. Dia mendekat perlahan dengan langkah yang berat dan kepala yang tertunduk. Ia bahkan tidak memandangi langit? Aku bertanya-tanya dalam pikiran.

“Bagaimana bisa kau terlihat sendu di hari Minggu yang dibalut langit biru dan suara ombak yang saling beradu? Bicaralah, Lilias.” Kalau asumsiku benar, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sedih.

“Pagi ini, aku terbangun dengan air mata di pipiku. Aku bermimpi tentang Lyon kecil yang malang, Noran.” Lilias mengambil posisi untuk duduk di sampingku. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah cakrawala.

“Ah, begitu, ya...” Aku teringat akan cerita pilu yang Lilias sampaikan padaku pada hari Rabu lalu.

***

Hujan turun tak henti-hentinya sejak dini hari, merebut keceriaan dan semangat yang seharusnya datang bersama mentari pagi. Lyon menghembuskan napas terakhirnya hari itu. Lilias baru saja bangun tidur dan hendak mengambil minum ke dapur ketika dia melihat tubuh mungil yang terbaring di lantai. Lilias mengira dia hanya sedang tidur. Ia lalu memainkan tangan dan cakar mungil Lyon seperti yang sering dilakukannya. Hanya saja, kali ini ada yang aneh. Lyon terlalu pendiam. Ia tidak terbangun dan menggigiti jari Lilias seperti biasanya. Dalam balutan bulu-bulunya yang berwarna oranye, Lyon justru terlihat kesulitan bernapas. Terkejut akan hal tersebut, Lilias berteriak memanggil ayahnya.

Tuan Henry baru selesai menggunakan toilet ketika Lilias menyebut-nyebut namanya. Dengan mata yang masih sayup-sayup ia memperhatikan kondisi Lyon. Dilihatnya bocah kecil yang selama ini selalu membawa keceriaan di rumah sederhana itu. Mulutnya sedikit terbuka dan megap-megap. Mungkin untuk membantu bernapas. Matanya terlihat amat sayu ketika tangan kanan tuan Henry mengusap dahinya. Dari ujung kepala sampai ujung ekornya tak terlihat tanda pergerakan lain yang berarti selain paru-parunya yang kembang kempis.

“Papa, ada apa dengan Lyon? Kenapa dia seperti ini?” Kekhawatiran mulai memuncak di benak Lilias. Ia tak kuasa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Entahlah, Lilias. Aku hanya seorang petani sayur. Aku tidak pernah mengemban pendidikan kedokteran hewan. Untuk sekarang, cobalah tuangkan susu ke tempat minumnya,” ujar tuan Henry sebari mencoba untuk menebak-nebak apa yang terjadi.

Tanpa menjawab, Lilias langsung sigap melaksanakan perintah ayahnya. Bersamaan dengan aliran susu yang tertuang ke wadah tempat minum Lyon, mengalir pula harapan dan doa-doa Lilias agar si kecil kembali membaik.

“Lyon, minumlah. Aku tidak pernah memberimu susu sepagi ini, kan? Kali ini akan kuberi sebanyak apa pun yang kau mau. Jadi kumohon minumlah dan bermain lagi bersamaku. Kumohon, Lyon...”

Lilias tak kuasa menahan tangis ketika kucing kesayangannya hanya minum sedikit dan kembali terkulai lemah. Lilias tidak siap untuk ini. Begitu pula tuan Henry yang kehabisan akal dan hanya mematung di sana. Perlahan ia dekap putri tercintanya. Diangkatnya Lyon ke pelukan mereka. Setelah itu, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Hingga akhirnya Lyon mengeong untuk yang terakhir kalinya. Seolah mengatakan, “Terima kasih banyak telah merawatku.” Pagi itu, pukul 6.22, Lyon telah meninggal dan tak seorang pun tahu penyebabnya.

Mereka tidak siap untuk kehilangan. Tidak lagi. Tidak setelah mereka kehilangan sang ratu di rumah tersebut, nyonya Rosaline Henry. Tapi aku tidak ingin mengingatkan Lilias pada hal itu untuk saat ini. Aku justru harus menghiburnya. Hm, mengganti topik tidak akan berguna, pikirku. Lilias harus bisa menghadapi rasa sakitnya kali ini. Sudah terlalu sering dia berlari. Kini saatnya berhenti.

***

“Lilias.” Aku mencoba untuk membuka keheningan yang sedari tadi hadir bersama kami selagi aku mengingat tentang Lyon.

Tanpa jawaban, ia hanya menoleh ke arahku. Dengan satu lirikan, kutatap kedua matanya. Astaga, walau hanya sekilas, aku seolah bisa merasakan kepedihan dari tatapannya yang hampa. Tapi aku tahu bahwa ia sedang menunggu dan sudah mempersiapkan diri untuk mendengarkan apa yang akan kukatakan.

“Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?” tanyaku.

Ia kembali menundukkan kepala dan terdiam sejenak sebelum kemudian menjawab, “’Kenapa?’ Hanya pertanyaan itu yang sedari tadi berlarian di kepalaku. Kenapa dia pergi begitu cepat? Kenapa dia tidak diberi kesempatan untuk tumbuh dewasa? Kenapa dia tidak diberi kesempatan untuk beranak pinak? Aku memungutnya dari kota dalam kondisi yang sangat buruk. Aku merawatnya sedari jalannya masih sempoyongan sampai dia bisa berlarian di tengah malam mengganggu tidurku dan papa. Tapi itu bukanlah masalah karena aku menyayanginya seolah dia adalah keluargaku. Tapi kenapa di saat Lyon mendapatkan semua itu, justru dia harus pergi? Kenapa? Ia bahkan belum genap 2 tahun, Noran.”

Sepertinya Lilias sudah kehabisan kata-kata. Tidak butuh orang yang sensitif untuk bisa merasakan bahwa luka di hatinya lebih dalam dari semua kata yang bisa diucapkan mulutnya.

Ayolah, Noran. Jangan buat keberadaanmu sia-sia baginya. Bergunalah! Sejenak aku diam untuk merapikan kalimat-kalimat yang akan kusampaikan. “Karena dia bahagia, Lilias. Dia sangat bahagia.” Aku diam sejenak untuk melihat bagaimana reaksinya.

Lilias hanya menggelengkan kepalanya sedikit. “Sulit untuk mengerti jalan pikiranmu, Noran. Jelaskanlah dengan lebih rinci.”

Baiklah, dia sudah siap. Aku meyakinkan diriku untuk melanjutkan penjelasan. Aku berdiri dan menerawang ke arah laut di bawah sana. Tak kuasa melihat Lilias yang terlihat begitu memilukan.

“Kau tahu aku bukan orang yang perasa. Jujur saja aku memang tidak bisa memastikan semua yang akan aku katakan. Tapi, kau bisa memilih untuk percaya pada apa yang akan aku sampaikan. Yang bisa kusampaikan hanya buah pikirku, seperti biasa. Dan kupikir, Lyon adalah salah satu makhluk yang paling beruntung yang kukenal. Sebagai kucing domestik biasa, dia dilahirkan di kota. Kemudian ditinggalkan induknya yang pergi tak tahu ke mana. Induk yang entah masih hidup atau malah sudah menjadi bangkai di suatu tempat di sudut kota tanpa sepengetahuannya. Lalu kau hadir dalam hidupnya. Lyon kecil tumbuh di pangkuanmu, pangkuan hangat yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Ia belajar berjalan dan berlari di bawah atap rumah yang melindunginya dari hujan, panas, dan polusi jalanan. Ia juga tidak pernah berurusan dengan kucing liar lain yang hanya mementingkan isi perut mereka masing-masing. Di antara saudara-saudara kandungnya, Lyon memiliki hidup yang jauh lebih indah. Berdasarkan fakta-fakta itu, aku dapat berasumsi bahwa Lyon menghabiskan sisa hidupnya dengan perasaan bahagia yang tidak satu pun dari kita tahu. Lilias, jika kau bertanya ‘kenapa?’ untuk dirimu sendiri, maka aku tidak punya jawaban apa pun yang bisa menjadi alasan yang kau cari. Tapi, jika aku bertanya ‘kenapa?’ mewakili Lyon, maka kau, pertemuan kalian, semua yang kalian lalui, detik pertama kau menatap matanya di kota sana hingga ia menghembuskan napas terakhir di pelukanmu, maka jawabannya sederhana. Kau adalah anugerah baginya, Lilias. Tuhan memberinya hidup yang bahagia dan mengakhirinya di sana. Akhir kisah hidupnya adalah akhir yang indah. Entah apa makna pertemuan kalian untukmu, tapi kurasa, begitulah makna pertemuan kalian bagi Lyon. Dan jangan membenci akhir, Lilias. Karena yang membuat suatu perjalanan, hubungan, atau cerita menjadi bermakna adalah akhir. Kita tahu bahwa tidak ada yang abadi, sehingga kita berusaha untuk membuat setiap detik menjadi berharga. Bukankah begitu?”

Isak tangis yang perlahan semakin jelas terdengar ke telingaku. Astaga, Noran! Apakah kau yakin telah mengatakan hal yang benar? Lantas kenapa Lilias menangis? Aku tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Untuk sejenak, aku panik. Aku juga belum berani untuk membalikkan diri dan melihat keadaan Lilias. Tapi kupikir, aku memang harus bertanggung jawab atas semua yang sudah kukatakan. Setelah meyakinkan diri, aku pun akhirnya memberanikan diri untuk menghadap Lilias.

Belum sempat aku memperhatikan Lilias, ia tiba-tiba lari ke arahku dan memelukku sambil merengek. Dengan dagunya yang disandarkan di bahuku, dia akhirnya mengeluarkan segala isi hatinya. Menghadapi kesedihan yang menimpanya.

“Lyon! Maafkan aku jika aku tidak pernah mengizinkanmu untuk minum susu sebelum jam 7 pagi. Aku hanya tidak ingin kau kehilangan selera makanmu karena aku tahu kau membutuhkan gizi yang ada di makananmu. Lyon! Maafkan aku jika aku mendekapmu terlalu erat saat kau membangunkanku di tengah malam. Aku hanya ingin mencegahmu untuk berlarian ke kamar papa agar kau tidak diomeli lagi olehnya. Lyon! Terima kasih karena mengizinkanku untuk merawatmu menggantikan ibumu. Lyon... Terima kasih atas hari-hariku bersamamu. Aku bahagia sebagaimana kau yang juga bahagia berdasarkan penjelasan Noran. Aku percaya itu. Aku percaya, Noran.”

Lilias memaksakan diri untuk tersenyum setelah semua yang dikatakannya. Tatapan matanya kembali hidup. Sangat berair, namun terasa hangat. Tetes air mata yang mengalir di pipinya telah berubah dari air mata kesedihan menjadi air mata kebahagiaan.

Aku merasa lega menyadari bahwa yang aku katakan padanya tidak memperburuk keadaan dan justru bisa membantunya untuk kembali tersenyum.

“Baiklah, kalau begitu, aku pinjam sapu tanganmu, Lilias,” ucapku sebari mengulurkan tangan.

“Untuk apa? Yang menangis kan aku dan bukan kau,” jawabnya polos.

“Ya, tapi kurasa aku lebih membutuhkannya untuk membersihkan bahuku dari ingusmu. Lagi pula, kau kan sudah berhenti menangis. Usap saja sisa air matamu dengan tangan.”

Wajah Lilias memerah ketika melihat bahuku dan menyadari apa yang sudah dia lakukan. “Baiklah! Baiklah! Diam kau! Ini sapu tanganku, bersihkan saja sendiri sana! Kau sudah mengacaukan momenku, bodoh!” Ia menyerahkan sapu tangan dengan terburu-buru dan memalingkan wajah seketika.

Nah, aku lebih suka melihat Lilias yang seperti ini. Kerja bagus, Noran!


Comments