Ini adalah kisah tentang sepotong roti!

Ini kisah tentang sepotong roti. Dua hari yang lalu aku menemukan jasad yang tergeletak di pinggir jalan. Setidaknya begitulah kukira pada awalnya. Karena ternyata setelah kuperhatikan lagi, tubuh mungil berbulu itu masih bergerak sedikit. Hewan apa yang memiliki ekor melengkung dengan gigi yang besar dan terkenal pandai melompat? Tepat sekali! Tupai jawabannya. Aku menemukan tupai yang tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan lemah tak berdaya dua hari yang lalu. Tadi kubilang kisah ini tentang sepotong roti, kan? Tenanglah, kawan. Sebentar lagi akan kukenalkan kalian dengan makanan ajaib yang terbuat dari gandum tersebut.

Aku memiliki kebiasaan yang tak pernah lupa kulaksanakan setiap pulang sekolah. Yaitu membeli roti dan susu kotak vanila. Hari itu pun tak ada yang berubah dari kebiasaanku. Jam 14.00 bel pulang sekolah berbunyi seolah menandakan kemerdekaan bagi seluruh siswa. Lagi pula siapa yang suka sekolah? Selain hanya sekedar batu loncatan menuju pendidikan tinggi, menurutku sekolah hanya tempat kami para remaja menghabiskan waktu setiap harinya. Coba bayangkan kalau sekolah dihilangkan, mau apa aku dari pagi sampai siang setiap harinya? Membersihkan rumah? Bersih sekalipun memiliki batas, kan? Tidak mungkin rumah selalu kotor. Oh iya, aku lupa menceritakan tentang roti lagi, ya? Maaf, kawan. Aku pelupa, hehe.

Roti coklat di tangan kanan dan susu kotak vanila di tangan kiri bagaikan pedang dan tameng bagiku yang berjalan menembus monster-monster berwujud rasa bosan dan udara yang panas setiap kali pulang sekolah. Itulah mengapa penting bagiku untuk menjaga mulut dan perutku tetap sibuk walaupun guru olahraga pernah mengomeliku karena makan dan minum sambil berjalan. Jarak rumahku ke sekolah memang tidak terlalu jauh. Tetapi sebagai pejalan kaki, cukup memakan energi dan waktu juga untuk bisa sampai. Untungnya salah satu tempat yang kulewati di perjalanan pulangku adalah taman kota. Apa urusannya semua itu dengan roti? Tidak ada, kecuali pada bagian taman kota. Nah kali ini aku akan benar-benar membicarakan tentang roti. Perhatikan baik-baik, ya!

Roti coklatku masih sisa setengah ketika aku melewati taman pada hari itu. Memang seharusnya begitu, karena taman kota adalah titik tengah perjalananku. Di sela-sela menikmati angin yang berembus di antara pepohonan  di sana, aku melihat tupai yang tadi kujelaskan di awal. Sebenarnya didorong oleh rasa bosanku, aku sempat berpikir untuk bermain-main dengan si tupai yang praktis tak akan melawan karena kondisinya. Tapi baru sempat aku menyentuh perutnya, yang ternyata lembut dan kenyal menggemaskan, tupai tersebut mengerang lirih hampir tak terdengar. Ia seolah menggunakan seluruh tenaganya yang tersisa untuk meminta tolong padaku. Teringat roti dan kotak susu yang bagaikan pedang bagiku, rupanya jiwa ksatria di dalam diriku benar-benar bangkit kali ini. Hari ini, aku akan menjadi penyelamat bagi si tupai yang malang.

Aku sudah mantap dengan niatku membantu tupai tersebut sampai pada akhirnya aku tersadar. Bagaimana caranya aku menolong hewan kecil ini? Astaga, aku bahkan tidak tahu kenapa dia tergeletak di pinggir jalan seperti ini. Aku coba melihat matanya, tatapannya kosong. Tentu saja. Lagi pula apa yang kuharapkan dari tatapan semata? Lalu aku coba melihat isi mulutnya, karena setahuku dokter selalu melakukan hal tersebut ketika memeriksa pasien. Ketika aku mencoba untuk menggerakkan rahang bawahnya, tupai itu malah menggigitiku. Kurang ajar! Aku ini berusaha untuk menolongmu, dasar tidak tahu diri. Rasa sakit di tanganku sebenarnya tidak seberapa, hanya saja aku kaget karena belum pernah digigit oleh tupai sebelumnya. Memangnya siapa yang pernah digigit tupai. Mereka kan bukan hewan pemakan daging.

Daging? Tunggu dulu! Itu dia! Tupai tidak memakan daging jadi tidak seharusnya dia menggigitiku seperti tadi. Mungkin dia mengira yang di mulutnya barusan adalah makanan. Toh dia sepertinya tidak bisa terlalu mengandalkan matanya. Kalau begitu, tupai ini kelaparan, kan? Baiklah, tupai kecil. Sang ksatria datang untuk menyelamatkanmu dari kelaparan. Aku pun memotong pedangku kecil-kecil. Jangan tanya apa maksudku dengan memotong pedang, ya! Kan aku sudah bilang bahwa rotiku adalah pedang. Setelah itu, aku mencoba menaruh potongan roti tadi ke mulut kecilnya, dan... Yes! Dia memakannya! Ibu, anakmu ini memang pandai sekali, maka dari itu berbanggalah! Setelah 2 potong roti kuberikan padanya, dia mulai mendapatkan kembali tenaganya. Pada potongan roti ketiga, dia malah langsung menyambarnya dengan kedua tangan mungilnya dan menggerogotinya sendiri. Setelah itu, dia sempat melihat ke arahku sebentar. Mungkin dia ingin mencoba berterima kasih namun lupa bahwa aku dan dia tidak berbicara bahasa yang sama. Kemudian dia pun pergi ke atas pohon terdekat dengan terburu-buru dan menghilang di antara dahan-dahan di atas sana.

Baiklah, sepertinya ksatria harus segera kembali ke kerajaan dan melaporkan perihal hari ini pada sang ratu yang menunggu di rumah. Namun ketika aku hendak melangkahkan kaki, tupai tadi datang lagi dan kali ini ia datang dengan teman-temannya. Wah sepertinya ia ingin memperkenalkan pahlawan barunya ke teman-teman dan keluarganya. Aku pun merendahkan diriku dan bertumpu pada satu lutut sebagaimana pose ksatria yang sedang memberi penghormatan. Namun dugaanku salah besar! Si tupai tadi malah mencuri sisa roti di tanganku dan kabur bersama kawanannya. BENAR-BENAR KURANG AJAR KAU PENCURI KECIL! AKAN KUTEMUKAN KAU BESOK DAN KUBERI HUKUMAN YANG SETIMPAL!

Sial! Ternyata menjadi kesatria tidaklah menyenangkan. Untuk apa aku berbuat baik hanya untuk dimanfaatkan. Oleh kawanan tupai pula! Astaga, mana bisa aku menceritakan kisah seperti ini pada ibuku. Dia pasti akan langsung tertawa mendengar kisahku. Lebih baik kusimpan sendiri saja sampai dendamku terbalaskan. Ternyata memang lebih baik menjadi siswa sekolah biasa saja daripada sok menjadi ksatria. Sekarang aku harus melanjutkan perjalanan pulang tanpa roti coklat. Untung saja aku masih mempunyai sisa susu kotak vanilaku yang... YA AMPUN TUPAI-TUPAI SIALAN! MEREKA MELUBANGI KOTAK SUSUKU DAN MEMBUAT ISINYA HABIS!  AAAAHHH!! AKU BENCI TUPAI-TUPAI ITU!

Oh, iya. Dipikir-pikir, aku menyesal telah menceritakan kisah memalukan ini padamu, kawan! Tolonglah jangan kau ceritakan pada siapa pun. Pokoknya lupakan tentang tupai-tupai itu. Lagi pula, seharusnya ini adalah kisah tentang sepotong roti!

#30DWC #30DWCJilid21 #Day6

Comments