Aku sering mendengar perumpamaan “dikejar
waktu” seolah waktu adalah sesuatu yang bergerak di belakang kita. Padahal kita
seharusnya bergerak bersamaan dengan waktu jika didasarkan pada ungkapan “seiring
berjalannya waktu.” Tapi juga ada sudut pandang berbeda dalam istilah “biar
waktu yang menjawab” yang membuat seolah kita membiarkan waktu adalah sesuatu
yang ada di depan kita dan bisa menunjukkan jalan. Kalau begitu, di mana
sebenarnya posisi kita dan waktu?
Waktu adalah hal yang abstrak. Kita tidak
bisa melihat wujudnya dan bahkan kadang tidak bisa merasakan keberadaannya. Walau
begitu, sepertinya tidak sulit bagi kita untuk memperlakukan waktu seperti apa pun
yang kita mau. Waktu dilupakan, dibagi, dibutuhkan, dihabiskan, dibuang
sia-sia, diratapi, dan lain-lain, seolah manusia memang sudah berbakat untuk
berkutat dengan waktu.
Bagaimana jika istilah waktu tidak pernah
ada? Bahwa pernyataan “lupa waktu” adalah murni kelakuan manusia yang
berlebihan dalam mengabaikan segala hal yang penting baginya selain apa yang
membuatnya lupa. “Membuang-buang waktu” adalah perbuatan manusia-manusia yang
tidak memiliki keinginan untuk mencari manfaat dan kebaikan. “Dikejar waktu”
adalah karma dari kelalaian manusia yang tidak mempersiapkan hal-hal yang
diperlukan. “Seiring berjalannya waktu” adalah nasihat agar manusia tidak
tergesa-gesa. “Biar waktu yang menjawab” adalah kalimat yang menyuarakan kepercayaan
manusia terhadap progres dan perubahan.
Waktu memang ada. Tapi segala hal yang
kita dengar tentang waktu sebenarnya adalah segala hal yang berkaitan dengan
manusia. Waktu memang nyata. Tapi manusia lebih nyata. Tindakan manusia lebih
nyata. Waktu hanya sedikit bagian dari apa yang terjadi pada dan oleh manusia.
#30DWC #30DWCJilid21 #Day20
#30DWC #30DWCJilid21 #Day20
Comments
Post a Comment